Perdebatan seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal
baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik
dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur
pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat
shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab:
“Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini.” Imam al-`Aini
menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka`at shalat
Tarawih.
Walaupun terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat
Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh
rakaat. Syekh Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa yang menduga
bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang
ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah
atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah.” Para
ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling
utama. Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat. Namun ada juga
beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas
(delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain. Ibnu
Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan.
Perbedaan ini muncul karena di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan
yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga
malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau
ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai
beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid.
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari
Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan
Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami
mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang
terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang
lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku
kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan
mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang
lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku
menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti
imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih
yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua
puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia
berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa
Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro,
I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam
al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam
al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam
dan lain-lain.
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau
menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka
setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan
bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah
pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im.
Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi
Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah
A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in)
kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras
kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan
dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh
para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah,
semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga
saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat.
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan
shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari
salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang
sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para
ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda
pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh
rakaat.
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab
mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga
rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah,
karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin
dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil
lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat.
Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua
dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal.
Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan
shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad
Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari
sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu
alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada
sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai
Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan,
mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami
shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian
saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya
diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata
apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat
rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam
Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i
pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk
(hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga
terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni,
Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).
2. Hadis Jabir :
حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah
menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari
sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat
yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga
rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena
di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat
Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil
potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara
sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada
Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan.
A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah
menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari
sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan
baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan
kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.
A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda
tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah,
sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang
yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak
berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut
tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang
berbeda. Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan
kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini
sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih,
karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan
Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan
sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu
bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan
Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini
bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih
delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada
hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal
ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil
untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih
dan tiga rakaat Witir.
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya
melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau
yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi
mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat
Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan
Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat,
pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja
pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam
tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan
Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten,
kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas
maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir,
seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun,
dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada
bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk
diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua
puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah,
yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali.
Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal
tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.
Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak
istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan
bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas.
Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka
istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari
segi kebahasaan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro.
Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat
Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada
hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal?
Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat
Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang
memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi
sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan
yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah
dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori
dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara
kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua
puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat
saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak
pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara
persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta
pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa
toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan
daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak
untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting
yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat
Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru
dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat
Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya
shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban
tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah
atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah
satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan
begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga
mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel
: Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan
membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur,
memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan
syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat
menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.
Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan
orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
WA ALLAH A`LAM BI AL-SHAWAB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar