Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Di pagi hari
yang penuh berkah ini, kita berkumpul untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha.
Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan taat kepada Allah SWT. Kita
agungkan nama-Nya, kita gemakan takbir dan tahmid sebagai pernyataan dan
pengakuan atas keagungan Allah. Takbir yang kita ucapkan bukanlah sekedar gerak
bibir tanpa arti. Tetapi merupakan pengakuan dalam hati, menyentuh dan
menggetarkan relung-relung jiwa manusia yang beriman. Allah Maha Besar. Allah
Maha Agung. Tiada yang patut di sembah kecuali Allah.
Karena itu,
melalui mimbar ini saya mengajak kepada diri saya sendiri dan juga kepada
hadirin sekalian: Marilah tundukkan kepala dan jiwa kita di hadapan Allah Yang
Maha Besar. Campakkan jauh-jauh sifat keangkuhan dan kecongkaan yang dapat
menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun kebesaran yang kita sandang, kita
kecil di hadapan Allah. Betapa pun perkasa, kita lemah dihadapan Allah Yang
Maha Kuat. Betapapun hebatnya kekuasaan dan pengaruh kita, kita tidak berdaya
dalam genggaman Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Idul Adha
yang kita peringatisaat ini, dinamai juga “Idul
Nahr” artinya hari raya memotong kurban binatang ternak. Sejarahnya adalah
bermula dari ujian paling beratyang menimpa Nabiyullah Ibrahim. Akibat dari
kesabaran dan ketabahan Ibrahim dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan,
Allah memberinya sebuah anugerah, sebuah kehormatan “Kholilullah” (kekasih Allah).
Setelah titel Al-kholil
disandangnya, Malaikat bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan
kekayaannya dan keluarganya?” Allah berfirman:
“Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah,
tengoklah isi hatinya dan amal bhaktinya!”
Sebagai
realisasi dari firmannya ini, Allah SWT mengizinkan pada para malaikat menguji
keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya dan
tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Allah.
Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan
bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100
ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor
ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya adalah tergolong milliuner. Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh
seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya: “Kepunyaan
Allah, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku
serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku
Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir
dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim
yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah itulah yang kemudian
dijadikan bahan ujian, yaitu Allah menguji iman dan taqwa Nabi Ibrahim melalui
mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7
tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan
disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri. Sungguh sangat mengerikan!
Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»t þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2ør& öÝàR$$sù #s$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Artinya: Ibrahim berkata : “Hai anakkku
sesungguhnay aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah
apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang
sabar.” (QS Aa-saffat: 102)
Ketika
keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah. Iblis datang menggoda sang
ayah, sang anak, dan sang ibu silih berganti. Akan tetapi Nabi Ibrahim, Siti hajar dan
Nabi Ismail tidak tergoyah noleh bujuk rayuan iblis yang menggoda agar
membatalkan niatnya. Mereka tidak terpengaruh sedikitpun untuk mengurunkan
niatnya melaksanakan perintah Allah. Ibrahim melempar iblis dengan batu,
mengusirnya pergi. Dan ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji
yakni melempar jumrah.
Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Ketika sang
ayah belum juga mengayunkan pisau dileher putranya. Ismail mengira ayahnya
ragu, seraya ia melepaskan tali pengikat tali dan tangannya, agar tidak muncul
suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan
karena dipaksa ia meminta ayahnya mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya
tidak melihat wajahnya.
Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah
bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris
digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan
perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya. Allah telah
meridloi kedua ayah dan anak memasrahkan tawakkal mereka. Sebagai imbalan
keikhlasan mereka, Allah mencukupkan dengan penyembelihan seekor kambing
sebagai korban, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat
107-110:
çm»oY÷ysùur ?xö/ÉÎ/ 5OÏàtã ÇÊÉÐÈ $oYø.ts?ur Ïmøn=tã Îû tûïÌÅzFy$# ÇÊÉÑÈ íN»n=y #n?tã zOÏdºtö/Î) ÇÊÉÒÈ y7Ï9ºxx. ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÊÉÈ
107. “Dan
kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”
108. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang
baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian,”
109. “(yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim".”
110. “Demikianlah
kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Konflik batin yang dialami Nabi Ibrahim,
menggambarkan kelemahan mendasar Ibrahim karena perasaan cintaannya kepada
Ismail yang berlebihan. Inilah yang menyebabkan kebimbangan antara
kecintaannya kepada Ismail atau mengurbankannya untuk meraih cinta Tuhan.
Perasaan cinta terhadap dunia secara berlebihan inilah yang juga merupakan
titik lemah iman kita. Yang menyebabkan kita serakah terhadap dunia dan enggan
berkurban.
Lalu! Siapa atau apa yang
menjadi Ismail kita sekarang? Jabatan, kehormatan, atau profesi kita? Tabungan
kita, rumah, kendaraan, keluarga kita, pakaian kita atau bahkan diri kita
sendiri? Yang harus kita kurbankan adalah segala sesuatu yang melemahkan iman
kita dan meghalangi kita untuk mendengarkan, mengamalkan dan berpihak kepada
Allah. Perayaan Idul Qurban adalah mementum penyadaran atas ego dan kecintaan
kita terhadap dunia. Kita kembalikan semuanya kepada Allah, sesungguhnya
kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya kita semua kembali.
Menyaksikan
tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia
itu, Malaikat Jibril kagum, seraya terlontar darinya suatu ungkapan “Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabi Ibrahim menjawab “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang
kemudian dismbung oleh Nabi Ismail “Allahu
Akbar Walillahil Hamd.’
Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Inilah
sejarah pertamanya korban di Hari Raya Qurban. Yang kita peringati pada pagi
hari ini. Allah Maha Penyayng. Korban yang diperintahkan tidak usah anak kita,
cukup binatang ternak, baik kambing, sapi, kerbau maupun lainnya. Pengorbanan
Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat umat manusia itu membuat
Ibrahim menjadi seorang Nabi dan Rasul yang besar, dan mempunyai arti besar.
Hikmah yang
dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia adalah
sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji,
pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan
dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban.
Di samping
itu, kesan atau i’tibar yang dapat diambil dari peristiwa tersebut adalah:
Pertama, perintah dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT,
harus dilaksanakan tanpa reserve (berfikir panjang) . Harus disambut dengan
tekad “sami’na wa ‘ata’na. Nabi Ibrahim”
istri, dan anaknya, telah meninggalkan contoh bahwa bila perlu, jiwa sendiripun
haruslah dikorbankan, demi melaksanakan perintah-perintah Allah.
Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
I’tibar kedua yang
dapat kita tarik dari peristiwa tersebut, adalah kegigihan syaitan yang terus menerus
mengganggu manusia, agar membangkang dari ketentuan ilahi. Syaitan senantiasa
terus berusaha menyeret manusia ke jurang kejahatan dan kehancuran. Allah
sendiri mengingatkan kepada kita.
وَلاَ تَتَّبِعُواْ
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.”
I’tibar Ketiga, jenis
sembelihan berupa bahimah (binatang ternak), merupakan gambaran bahwa hawa
nafsu hawaiyah harus dihilangkan.
I’tibar Keempat,
bahimah bila dilihat dari unsur gizinya, mengandung suatu arti bahwa makanan,
disamping halal harus yang diutamakan juga masalah gizinya.
Hadirin
Jama’ah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Tepatlah
apabila perayaan Idul Adha digunakan menggugah kesedihan kita untuk berkorban
bagi negeri kita tercinta yang saat ini sedang dirundung kesusahan.
Krisis
ekonomi yang sudah beberapa tahun berjalan, menambah beban masyarakat ditambah
lagi dengan naiknya harga BBM, tariff listrik, rekening telepon, dan naiknya
harga-harga kebutuhan pokok lainnya, sehingga menjadikan masyarakat kita tidak
memiliki daya beli. Akibatnya, banyak kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terjangkau.
Dalam
kondisi seperti ini sebenarnya kita banyak berharap dan mendoakan mudah-mudahan
para pemimpin kita, elit-elit kita, dalam berjuang tidak hanya mengutamakan
kepentingan pribadi dan kelompoknya, tapi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Pengorbanan untuk kepentingan orang banyak tidaklah mudah, berjuang dalam
rangka mensejahterahkan umat memang memerlukan keterlibatan semua pihak. Hanya
orang-orang bertaqwalah yang sanggup melaksanakannya.
Mudah-mudahan
perayaan Idul Adha kali ini, mampu menggugah kita untuk rela berkorban demi
kepentingan agama, bangsa dan negara amiin 3x ya robbal alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar